Sabtu, 12 Februari 2011

BERPRESTASI !! ANAKMU BUKAN ROBOT by " Sekolah Internet"

BOOMING-NYA acara kontes bakat di televisi belakangan ini membuat anak-anak dihadapkan pada berbagai jenis kompetisi. Orangtua pun rela mengantar anaknya dari lomba ke lomba yang menjanjikan piala plus kebanggaan itu.


Maraknya adu bakat, ajang lomba prestasi, seringkali menjadi dilema bagi orang tua, salah satu akibat yang ditimbulkan adalah barometer anak berprestasi kerap identik dengan gegap gempitanya ajang lomba di TV. Aneka lomba menjamur seperti menabuh irama di tengah ramainya pesta. Bahkan bayi tak luput jadi sasaran empuk untuk diikutsertakan. Mulai dari lomba foto bayi sehat, hingga lomba yang menghadirkan bayi-bayi itu untuk bertanding langsung.

Layaknya atlet, bayi-bayi lucu berderet di garis start menunggu aba-aba dari panitia. Mereka berlomba merangkak menuju para bunda di garis finish. Aktivitas seperti itu jelas bukan kemauan sang bayi.

Lantas apa yang ada di benak para orangtua peserta lomba? Apakah kompetisi semacam itu benar-benar dibutuhkan anak? Bukankah anak dapat merasa bahwa ia selalu dituntut menjadi juara alias champion syndrome?

Anak Bukan Robot Berprestasi!

Prinsipnya, guru dan orangtua adalah pencipta lingkungan dan iklim yang mencoba menstimulasi munculnya berbagai potensi pada anak. Jadi hal terbaik yang dapat dilakukan adalah membiarkan anak berkembang sesuai potensinya.

Mulailah bertransaksi secara memadai, jangan paksakan program ambisius orangtua yang mengorbankan masa kanak-kanak.

Benahi proses belajar transaksional agar berkembang pula rasa tanggung jawab, kemampuan mengatur diri anak dengan cara menyusun program belajar hingga target akademik mereka sendiri. Jadikan anak itu manusia berpribadi bukan robot-robot berprestasi.

Misal pada bidang pendidikan. Banyak anak yang ikut berbagai lomba berkaitan dengan pelajaran dan mencapai juara ujian nasional, ternyata gagal masuk dalam seleksi SMP RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional).

Mengapa hal ini bisa terjadi? “Anak bisa mencapai juara lomba dan juara UN karena dikondisikan begitu ketat oleh orangtua dan sekolah, padahal secara psikologis kapasitas mereka sebenarnya tidak sampai! Bisa jadi karena anak sudah mencapai titik jenuh dan merasa tereksploitasi. Energi yang seharusnya terdistribusi justru tercurah habis karena ambisi,” kata Dra Edwita, M.Pd dari Universitas Negeri Jakarta.

Memang, bercita-cita menjadi idola tak salah. Namun, orangtua tidak berhak memaksa anak menjadi sesuatu yang tidak sesuai dengan kemampuan dan keinginaannya.

“Anak-anak yang dipaksa seperti itu hidupnya tidak akan happy karena selamanya akan bergantung pada reward dari masyarakat yang sifatnya semu,” imbuh Edwita.

Hal senada dikemukakan Christine V Meaty, Psi, Psikolog sekaligus pendiri rumah singgah Cika. “Menjamurnya kontes bakat yang muncul di televisi, membuat orangtua yang ingin anaknya populer berbondong-bondong mengikut-sertakan si anak dalam audisi. Kondisi ini tidak lepas dari berjangkitnya budaya hidup instan di masyarakat. Kultur kolektif di Indonesia masih sangat kuat dengan semacam pandangan bahwa kesuksesan anak menjadi cermin kesuksesan orangtua dan keluarga. Tapi di tengah lingkungan yang semakin individualis, pandangan semacam itu justru disinyalir tidak mendukung perkembangan anak,” beber Christine.

Ajang Menyeragamkan Anak?

Suatu ketika saat diminta menjadi juri lomba melukis di suatu daerah, Christine mendapati karya lukis anak-anak peserta lomba cenderung seragam. Hal semacam inilah yang menjadi pangkal kegelisahan Psikolog alumnus Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta ini.

“Rupanya, kini bermunculan sanggar lukis yang khusus mengajari anak-anak pemenang lomba. Orangtua yang ingin anaknya menjadi juara pun aktif memasukkan anaknya ke sanggar semacam itu. Karya anak cenderung seragam karena selama di sanggar mereka diajari melukis dengan gaya tertentu yang menurut sanggar itu paling bagus. Jadi standar lukisan sudah ditetapkan, anak tidak ditanyai lukisan yang bagus menurut mereka itu seperti apa?,” ungkap Christine.

Tak hanya lomba lukis, pada lomba modeling pun gaya dandanan dan cara berpose anak-anak tersebut juga terlihat sama.
Bagi Christine, kisah dari ajang lomba lukis dan modeling bisa jadi hanya satu potongan kecil dari cerita besar tentang kondisi anak masa kini.

“Secara tak sadar melalui kursus dan lomba, orangtua telah menyeragamkan anak-anaknya. Salah-salah bukannya prestasi yang didapat, kelak si kecil justru tumbuh menjadi individu yang tidak punya jati diri dan miskin originalitas!” imbuhnya.

0 komentar:

Posting Komentar

KREARIFINDO Creative Solution

PhotobucketPhotobucket Photobucket
INILAH SEBAGIAN BISNIS ONLINE YANG SAYA KEMBANGKAN, BAGI ANDA YANG MEMBUTUHKAN : DESAIN GRAFIS, DESAIN PRESENTASI, DESAIN KREATIF, DESAIN MULTIMEDIA, DLL. ATAU TRAINING MULTIMEDIA PRESENTASI, WORKSHOP PEMBUATAN BLOG KONTAK SAYA DI :
085880878417 atau YM : arif_jic@yahoo.co.id

DOWNLOAD MATERI

PhotobucketPhotobucketPhotobucket

 
Design by Gerai Blog | Support Design by Desaingratis - Group Design | GERAI BLOG